Pasar Mobil Listrik Bekas ke China Membara, Negara Indonesia Justru Sebaliknya

CHINA – Berbeda dengan Indonesi yang tersebut masih meraba-raba di mengadopsi kendaraan listrik (KL), China justru menunjukkan tren yang dimaksud berkebalikan. Pasar mobil listrik bekas di Negeri Tirai Bambu yang disebutkan naik dengan cepat pesat, menunjukkan tingginya minat komunitas terhadap kendaraan bertenaga baterai.

“Diperkirakan, total kegiatan NEV bekas akan mencapai tambahan dari satu jt unit pada akhir tahun 2024, sebuah pencapaian yang mana belum pernah berlangsung sebelumnya,” ungkap CADA.

Laporan kuartal ketiga 2024 oleh Tiantian Paiche, wadah perdagangan mobil bekas online terkemuka, mengungkapkan bahwa 68,2 persen kendaraan listrik bekas yang terjual di platform digital yang dimaksud berusia tiga tahun atau lebih banyak muda, dengan rata-rata usia kegiatan 3,8 tahun.

Harga Jual Rata-rata Mobil Listrik Lebih Tinggi dari Mobil Bensin Bekas

Data-data tentang pangsa mobil listrik bekas dalam China memang benar cukup mengejutkan:

– Penjualan mobil listrik bekas mencapai 789.800 unit pada periode Januari-September 2024, naik 54% dibandingkan dengan periode yang identik tahun kemudian (CADA).

– Total kegiatan diprediksi melampaui 1 jt unit pada akhir 2024.

– 68,2% mobil listrik bekas yang terjual berusia 3 tahun atau lebih tinggi muda (Tiantian Paiche).

– Harga jual rata-rata mobil listrik bekas mencapai 78.200 yuan (Rp170,4 juta), lebih lanjut tinggi dari harga jual rata-rata mobil bensin bekas (54.300 yuan atau Rp118,3 juta).

Faktor Pendorong ke China:

– Bantuan pemerintah yang dimaksud kuat: Subsidi, insentif pajak, juga pengembangan infrastruktur pengisian daya.

– Teknologi yang mana semakin matang: Jarak tempuh, performa, serta keamanan mobil listrik semakin baik.

– Pilihan model yang mana beragam: Berbagai merek lalu model mobil listrik tersedia ke pasar.

– Kesadaran komunitas akan lingkungan: Meningkatnya kepedulian terhadap isu polusi serta inovasi iklim.

Artikel ini disadur dari Pasar Mobil Listrik Bekas di China Membara, Indonesia Justru Sebaliknya