Proyek Bermasalah
Admin
by on September 19, 2022
110 Likes

Terdakwa Direktur Utama First Travel Andika Surachman (kedua kanan), Direktur Anniesa Hasibuan (kanan), dan Direktur Keuangan Siti Nuraida Hasibuan (kedua kiri) menjalani sidang kasus dugaan penipuan dan pencucian uang biro perjalanan umrah First Travel dengan agenda pembacaan amar putusan di Pengadilan Negeri Kota Depok, Jawa Barat, Rabu (30/5). Majelis hakim memvonis terdakwa Andika Surachman 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 8 bulan, Anniesa Hasibuan 18 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 8 bulan, sementara Siti Nuraida alias Kiki Hasibuan 15 tahun dan denda Rp5 miliar subsider 8 bulan kurungan. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Sejumlah kalangan menyesalkan putusan majelis hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa barang bukti pada perkara PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel, tidak dikembalikan kepada jemaah yang menjadi korban kasus penipuan umrah.

Pro dan kontra pun timbul. Mahkamah Agung bersikukuh bahwa barang bukti yang disita dalam kasus ini adalah benda-benda yang diperoleh berdasarkan hasil tindak pidana.

Di lain pihak, jemaah yang menjadi korban First Travel jumlahnya mencapai ribuan. Mereka pun berharap hartanya dapat kembali.

Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah, jika yang menjadi korban dalam kasus tersebut hanya satu orang dan terbukti bahwa barang yang disita adalah miliknya di persidangan, maka barang-barang tersebut dapat dikembalikan ke orang tersebut.

"Sementara First Travel kan tidak ada yang dihadirkan di persidangan, ribuan itu 'uangku berapa, daftar lewat siapa, buktinya mana', ada tidak yang menunjukkan itu. Saksinya apa didatangkan semua, ribuan itu," ujar Abdullah.

"Nah, sekarang seandainya diserahkan, diserahkan ke siapa, jemaah yang mana, bagaimana cara membaginya, siapa yang berani mengatasnamakan kelompok itu kira-kira?" tuturnya.

Lalu apa yang menjadi dasar hukum penyitaan aset First Travel oleh negara?

Di dalam salinan amar putusan kasasi nomor 3096 K/Pid.Sus/2018, disebutkan:

"Bahwa sebagaimana fakta di persidangan, barang-barang bukti tersebut merupakan hasil kejahatan yang dilakukan oleh para Terdakwa dan disita dari para Terdakwa yang telah terbukti selain melakukan tindak pidana Penipuan juga terbukti melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHP juncto Pasal 46 KUHAP barang-barang bukti tersebut dirampas untuk Negara."

Adapun di dalam Pasal 39 KUHP disebutkan:

(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Terdakwa yaitu Direktur Utama First Travel Andika Surachman, Direktur First Travel Anniesa Hasibuan, dan Direktur Keuangan First Travel Siti Nuraidah Hasibuan menjalani sidang eksepsi kasus dugaan penipuan dan penggelapan oleh agen perjalanan umrah First Travel di Pengadilan Negeri Depok, Senin (26/2/2018).(KRISTIANTO

Bukan milik negara

Putusan tersebut pun dinilai membingungkan. Pasalnya, bukti kejahatan yang disita dalam perkara ini bukanlah milik negara, melainkan milik jemaah.

Sehingga, menurut pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih, yang paling berhak menerima pengembalian uang tersebut adalah jemaah.

"Uang itu uang siapa? Uang negara atau uang swasta atau masyarakat atau perorangan. Kalau uang negara kembali ke negara, kalau bukan uang negara yang harus ke pemilik awalnya," kata Yenti kepada Kompas.com, Sabtu (16/11/2019).

Hal yang sama disampaikan Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto.

Menurut dia, seharusnya aset yang disita dalam kasus tersebut dapat dikembalikan kepada para korban First Travel.

"Nah itu enggak boleh, menurut saya itu terlalu zalim, itu kan bukan uang negara, bukan uang hasil proyek, bukan uang APBN, Bukan uang APBD, itu murni uang rakyat," kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Bahkan, ia menambahkan, negara seharusnya dapat melindungi hak-hak korban. Pasalnya, ia menduga, nilai aset yang disita tidak sebanding dengan kerugian yang dialami korban.

"Justru kalau masih kurang, negara harus mencarikan kekurangannya, toh banyak sumber pendapatan bukan pajak, atau dari CSR atau dari mana, tapi kalau negara justru menambah lebih beban jamaah dengan menyita aset negara, itu saya kira saya kira terlalu zalim," ujar dia.

 

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019). Rapat kerja tersebut membahas rencana strategis Kejaksaan Agung tahun 2020. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama. (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI)

Masih bisa dikembalikan

Sementara itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berjanji akan berupaya mengembalikan hak korban. Ia mengaku cukup dilematis untuk mengeksekusi putusan tersebut.

Pasalnya, sejak awal jaksa menuntut agar barang bukti yang disita dapat dikembalikan kepada korban.

Kejaksaan Agung pun berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk membantu korban First Travel mendapatkan haknya. Sekalipun, ada putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang jaksa mengajukan PK.

"Ini untuk kepentingan umum. Kita coba ya. Apa mau kita biarkan saja?" ujar Burhanuddin di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (18/11/2019).

Di lain pihak, Yenti menilai, masih ada kesempatan bagi korban untuk mendapatkan haknya kembali. Bila merujuk amar putusan hakim yang mendalilkan Pasal 46 KUHAP, maka hal tersebut dapat dimungkinkan.

Di dalam ayat (1) pasal itu disebutkan, benda yang disita dapat dikembalikan kepada orang atau mereka apabila:

a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;

b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;

c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Sedangkan di dalam ayat (2) disebutkan:

"Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain."

Menurut mantan Ketua Panitia Seleksi KPK itu, pasal tersebut dapat menjadi celah untuk mengembalikan hak korban. Meski begitu, hal tersebut kembali lagi berdasarkan pada putusan pengadilan.

"Hanya memang harus ada mekanisme untuk memastikan bahwa mengingat hasil kejahatan itu ada yang berupa aset juga," ujar Yenti.

"Maka harus dipikirkan bagaimana pengelolaan aset tersebut, seperti lelang dan sebagainya, untuk memastikan para korban calon jemaah bisa mendapatkan haknya secara proporsional, mengingat jumlah korban juga banyak," ucapnya.

Barang Bukti kasus First Travel diserahkan ke Kejaksaan Negeri, Depok, Kamis (7/12/2017). Bareskrim Polri melimpahkan para tersangka dan barang bukti kasus dugaan penipuan dan penggelapan oleh PT First Travel ke Kejaksaan Negeri Depok setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap.(KRISTIANTO PURNOMO)

Mengajukan PK

Sementara itu, para korban kasus First Travel berencana mengajukan PK dalam waktu dekat.

Chief Communication DNT Lawyers, Dominique menyatakan, pengajuan PK sejalan dengan pernyataan Jaksa Agung yang menganggap putusan kasasi First Travel bermasalah.

Di samping adanya temuan bukti baru atas dugaan kekeliruan majelis hakim tingkat pertama dalam memutus perkara tersebut.

Menurut dia, berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU jo Pasal 46 KUHAP, asset hasil tindak pidana dapat dikembalikan kepada yang berhak.

"Kami sepakat dengan pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin yang menyatakan Putusan Kasasi First Travel bermasalah. Seharusnya secara hukum, aset barang bukti pada kasus ini diserahkan kepada korban,”ungkap Dominique dalam keterangan tertulis, Selasa (19/11/2019).

Tidak hanya itu, pihaknya juga mendukung langkah Kejagung yang menunda proses eksekusi. Meski demikian, secara formal pihaknya tetap akan mengajukan permohonan penundaan eksekusi kepada Kejaksaan Negeri Depok yang akan melaksanakan eksekusi atas putusan ini.

"Secara detil akan kami sampaikan kemudian saat pengajuan peninjauan kembali dalam 2 minggu ke depan," kata dia.

 

Sumber : https://amp.kompas.com/nasional/read/2019/11/20/11215191/aturan-yang-sebabkan-aset-first-travel-disita-negara-dan-polemiknya

Respon Anda
Admin
Jadi point utamanya, harus ditelusuri darimana asal asetnya First Travel tsb Dari negara, masyarakat umum atau yg lainnya Kalau memang berasal dari masyarakat umum, ya harus dikembalikan ke korban Tidak relevan kalau disita oleh Negara
Admin
Terkait putusan penyitaan aset First Travel oleh Negara ini Para korban berencana mengajukan PK Pengajuan Kembali Broperty akan menelusuri proses & hasil PK tsb Dan akan dicantumkan disini
Admin
PK ini tampaknya diajukan oleh Bos First Travel Tujuannya agar aset tdk disita negara Tampaknya akan terjadi negosiasi antara Bos FT dengan para korban terkait PK ini Tujuannya tentu saja agar hukuman pelaku bisa lebih ringan
Respon Anda
Admin
Jadi point utamanya, harus ditelusuri darimana asal asetnya First Travel tsb Dari negara, masyarakat umum atau yg lainnya Kalau memang berasal dari masyarakat umum, ya harus dikembalikan ke korban Tidak relevan kalau disita oleh Negara
Admin
Terkait putusan penyitaan aset First Travel oleh Negara ini Para korban berencana mengajukan PK Pengajuan Kembali Broperty akan menelusuri proses & hasil PK tsb Dan akan dicantumkan disini
Admin
PK ini tampaknya diajukan oleh Bos First Travel Tujuannya agar aset tdk disita negara Tampaknya akan terjadi negosiasi antara Bos FT dengan para korban terkait PK ini Tujuannya tentu saja agar hukuman pelaku bisa lebih ringan